Ngobrol
Blues dengan mbah John Mayall
Bagi anak muda sekarang, nama John
Mayall nyaris tak dikenal. Mereka justeru lebih mengenal John Mayer.Tapi di
Indonesia,terutama ketika rezim orde baru mulai berkuasa, setiap anak muda
merasa terkucilkan jika tak mengenal sosok John Mayall. Begitu populernya musik
dan sosok John Mayall dimata anak muda Indonesia era akhir 60an hingga 70an
hingga muncul istilah John Mayall High School.
Istilah itu ditujukan untuk
sekolah lanjutan atas yang mengizinkan muridnya memelihara rambut gondrong.
Karena ingin berambut gondrong dan
bebas merokok, Supartono Suparto, atau lebih dikenal dengan panggilan Tono
Bigman, akhirnya memutuskan bersekolah di Perguruan Taman Madya, SMA di Blok S,
Jakarta Selatan pada tahun 1970. “Taman Madya lebih dikenal sebagai John Mayall
High School karena muridnya berambut gondrong,” ungkap Tono (58), yang saat itu
telah ngeband bersama grup Bigman Robinson.
John Mayall, pemusik blues Inggris,
dengan rambut tergerai sepunggung, sedang ngetop-ngetopnya di Indonesia,
terutama di Jakarta dan Bandung. Mayall menjadi idola anak muda di kurun
waktu akhir 1960-an hingga awal 1970-an.
Di Bandung pun ada sekolah
John Mayall. “Sekolah itu berada di Jalan Naripan. Murid-muridnya dibolehkan
memelihara rambut gondrong,” ungkap Triawan Munaf (53) yang pernah mendukung
sederet grup rock di Bandung seperti Lizzard,Tripod, Giant Step, dan Gang Of
Harry Roesli.
John Mayall yang kerap dipanggil
Godfather of British Blues kini telah berusia 78 tahun akhirnya manggung juga
di Jakarta 17 Desember 2011 dalam event “Jakarta Blues Festival 2011” di Istora
Senayan Jakarta.Mayall masih tetap gondrong.Tapi rambutnya yang memutih
dikuncir rapi.Semangatnya masih membara.Suaranya pun masih melengking,walau tak
bisa dipungkiri Mayall kadang agak tersengal dan tertatih mendaki nada-nada
yang agak tinggi.
Hampir 1,5 jam John Mayall tampil
energik bersama Oli Brown (gitar elektrik),Greg Rzab (bass) dan Jay Davenport
(drums).Lagu-lagu lama John Mayall yang mengharu biru anak muda Indonesia 60an
dan 70an berkumandang seperti “All Your Love”,” “So Many Roads” ,”Parchman
Farm” hingga “Room to Move”.
John Mayall berhasil menghibur
jemaah blues yang melakukan guyub di Istora Senayan.Sebagian jemaah John Mayall
memang nyaris memutih pula rambutnya ,seperti halnya Mayall.
Jam 11.30 sabtu 17 desember 2011
saya tiba di Istora Senayan untuk melihat persiapan yang dilakukan John Mayall
bersama The Bluesbreakers.Hampir 1,5 jam dihabiskan Mayall melakukan persiapan
cek sound.
Tampaknya John Mayall sosok yang
perfeksionis.Disela-sela preparing konsernya, saya sempat ngobrol ngobrol
dengan John Mayall yang dilahirkan 29 November 1933.
Saat bertemu dengan John Mayall saya
langsung menyodorkan piringan hitam saya John Mayall ,sebuah album kompilasi
saat John Mayall masih didukung Eric Clapton,Peter Green,John McVie,Asley
Dunbar dan Mick Taylor,untuk ditandatangani .Mayall terperangah lalu
tersenyum.Dia lalu mengguratkan spidol hitam tepat di font namanya John Mayal
pada kover album.
John Mayall (JM) :”Ini album
kompilasi era 1967 dan 1969”
Denny Sakrie (DS) :”Bagaimana
bisa merekrut musisi-musisi yang kemudian kelak menjadi ikon musik rock dunia
?”
JM :”Well….saya hanya melihat
kemampuan mereka bermain blues.Mereka berbakat Saya tertarik,lalu mengajak
mereka bergabung ke band saya The Bluesbreakers”.
DS
emusik yang anda ajak di
Bluesbreakers pada akhirnya dikenal lewat band-band terdepan seperti
Cream,Blind Faith,Fleetwood Mac atau juga the Rolling Stones.Anda setuju jika
saya menyebut anda sebagai seorang penemu bakat yang luar biasa ?
JM :Hmmm….saya lebih suka disebut
sebagai band leader saja .
DS : Kenapa pilih musik blues ?
JM : Ayah saya memiliki banyak
piringan hitam blues dan jazz.Saya suka beberapa diantaranya terutama yang
memainkan gitar seperti Leadbelly,Eddie Lang atau Lonnie Johnson.Musik mereka
itu membuat saya mampu menikmatinya berjam jam.
DS :Tapi anda juga terampil meniup
harmonika kan ?
JM :Setelah mendengar album Sonny
Boy Williamson,saya mulai tertarik bermain harmonika.Apalagi harmonika blues
itu sangat ekspresif. Harmonika bisa jadi representasi perasaan saat
meniupnya.
DS : Kenapa anak muda Inggeris di
era 60an sangat terpengaruh dengan blues ?
JM : Well…..boleh jadi karena blues
itu lebih ke persoalan rasa dan ekspresi.Anak muda pasti selalu tertantang
untuk berekspresi sebebas-bebasnya.Dan itu ada dalam musik blues.Blues itu kan
akar dari segala musik yang ada.Jazz dari blues, begitu juga rock berasal
dari blues.
DS : Masih tetap bikin album ?
JM : Yeah….album terakhir saya
“Tough”, dirilis tahun 2009.Malam ini saya akan membawakan dua lagu dari album
itu ,yaitu “ The Sum of Something” dan “Nothing To Do With Love”
DS : Ada berapa album yang telah
anda rilis ?
JM : Mungkin hampir
sekitar 60 album.
DS : Apa album favorit anda ?
JM : Saya suka semua album yang
pernah saya bikin.bagi saya album itu adalah representasi dari apa yang bisa
saya lakukan,dalam musik tentunya.Mulai dari bikin lagu hingga liriknya.
Album adalah semacam catatan harian dari apa yang saya pernah lakukan.
DS : Tahukah anda bahwa di era 70an
musik anda justeru menjadi bagian dari kehidupan anak muda
Indonesia ?
JM : Oh really ? Iya saya dengar
dari beberapa orang disini pun seperti itu.Tapi setahu saya pada era 70an yang
namanya musik blues memang menjadi elemen dari musik rock.Dan ini terjadi
dimana-mana.
Sumber: http://dennysakrie63.wordpress.com/2011/12/19/ngobrol-blues-dengan-mbah-john-mayall/

Tidak ada komentar:
Posting Komentar